Cara Menghindari Timbulnya Penyakit Pasca Banjir
A. Bagaimana Cara Menghindari Timbulnya Penyakit Pasca Banjir?
1. Bersihkan
lingkungan tempat tinggal, kumpulkan dan buanglah sampah yang terbawa arus air
ke dalam lubang dihalaman rumah / atau ketempat sampah. Bersihkan lantai &
dinding didalam rumah bersihkan dengan cairan desifektan
2. Kuburlah
lubang-lubang bekas air.
3. Air
sumur atau air keran yang berpotensi terkontaminasi, sebaiknya tidak digunakan
dulu , meskipun akan dimasak/ direbus dulu sebelum digunakan. Check dahulu air
yang akan digunakan secara fisik ( warna, rasa, bau) dan diajurkan untuk
menganalisa air secara kimia ( PH,Fe,Na, Ni, Chlor dll), dan biologi ( E Coli).
Sampai dipastikan bahwa air tersebut layak untuk dikonsumsi.
4. Pakai
Alat pelindung yang beralas keras ( Sandal / sepatu) apabila berjalan dalam
genangan air
5. Tingkatkan
daya tahan tubuh , minumlah supplemen vitamin, konsumsilah makanan yang bergizi
dan teratur, istirahatlah yang cukup
6. Buanglah
makanan yang telah terkontaminasi
7. Cucilah
sayuran terlebih dahulu sebelum dimasak, hindari mengkonsumsi sayuran yang
telah terkontaminasi. Tutuplah makanan yang akan disajikan
8. Obati
luka yang terbuka dengan plester tahan air
9. Cucilah
tangan dengan sabun sebelum atau sesudah makan
10.
Laranglah anak anak anda bermain didaerah
banjir, bila melakukannya mandi & cuci tangan yang bersih.
11.
Hindari tempat persembunyian tikus, dengan
menutup lobang tikus yang ada
12.
Bagaimanakah
mencegah penyebaran Leptospirosis. Pada orang yang pekerjaannya mempunyai
resiko tinggi harus memakai pakaian, sepatu dan sarung tangan pengaman (PPE)
untuk mengurangi pemaparan dengan bakteri. Mengenali dan menghilangkan kemungkinan
terkena air dan tanah yang terkontaminasi selama aktivitas rekreasional, dan
pengawasan binatang pengerat di tempat tinggal manusia dan hewan piaraan dapat
mengurangi pemaparan
B. Langkah-langkah penanggulangan bidang Kesehatan
1. Mengeluarkan
himbauan kepada jajaran kesehatan di seluruh Provinsi Kalimantan Barat melalui
bidang-bidang teknis untuk melakukan berbagai persiapan tindakan antisipasi
timbulnya outbreak dampak kesehatan akibat asap dan akibat sampingan yaitu
kekeringan/kemarau panjang, terutama di Kota Pontianak dan sekitarnya.
2. Membuka
Posko bidang kesehatan di Dinas Kesehatan Prov. Kalbardalam rangka penyediaan
informasi dan fasilitasi bantuan tenaga kesehatan dan obat-obatan serta masker.
Melakukan pemantauan/surveilans penyakit akibat asap dan kemarau.
3. Melakukan
pemantauan/surveilans penyakit akibat asap dan kemarau.
4. Melakukan
tindakan antisipasi akibat sampingan kabut asap yaitu kekeringan/kemarau dengan
melakukan pemantauan kesehatan lingkungan yaitu persediaan air bersih di
daerah-daerah rawan kekeringan, serta melakukan pembinaan dan bimbingan kepada
masyarakat untuk mendapatkan air bersih yang sehat.
5. Melakukan
distribusi masker pada dinkes kabupaten/kota dan puskesmas, LSM, instansi
terkait, sekolah-sekolah dan masyarakat serta pada even tertentu berdasarkan
permintaan.
6. Melakukan
penyuluhan dan himbauan pada masyarakat melalui mass media, media elektronik
dan surat-surat resmi pada akhir bulan Juli dan Agustus.
7. Menyiagakan
puskesmas dan rumah sakit daerah sebagai rujukan bagia masyarakat yang terkena
dampak asap dan kemarau, dengan fasilitas (obat dan sarana) serta pelayanan
yang sesuai dengan standar pengobatan dasar yang telah ditetapkan pemerintah.
8. Berkoordinasi
dengan instansi terkait seperti Bapedalda, Pemda dan pihak keamanan untuk
melakukan distribusi masker dan dalam rangka menyediakan informasi yang
berkaitan dengan asap dan kemarau.
9. Melakukan
koordinasi dengan Pusat Penanggulangan Krisis Depkes dalam rangka memberikan
laporan secara lisan dan bantuan binaan untuk penanggulangan dampak kesehatan
akibat asap.
10.
Membuat laporan tertulis secara berkala setiap
hari dalam 2 minggu kepada Satkorlak PB dan PPK Depkes.
C. Aspek Kesehatan Lingkungan
1. Tempat Pengungsian
Saat bencana terjadi tempat
pengungsian darurat akan menjadi tujuan semua korban bencana. Untuk
mengantisipasi masalah kesehatan lingkungan yang akan timbul maka dalam
memilih, melengkapi, atau memperbaiki tempat pengungsian darurat sebaiknya
melibatkan tenaga kesehatan dan ahli teknik pengairan. Di samping itu, ketika
merencanakan lokasi pengungsian darurat semestinya dipertimbangkan juga dampak
ekonomi, sosial, dan lingkungan jangka panjang di sekitar area tersebut (Wisner
dan Adams, 2002).
Tidak semua penduduk akan
mengungsi ke tempat pengungsian bersama. Kadang-kadang penduduk korban bencana
mengungsi ke rumah saudara atau tetangganya. Pada kondisi seperti ini perlu
diinformasikan pada mereka bahwa suplai air mungkin terkontaminasi dan air
permukaan mungkin terkontaminasi kotoran. Informasi mengenai metode sederhana
penyaringan, sedimentasi, penyimpanan, dan disinfeksi seharusnya diberikan.
Perlu juga dilakukan pendistribusian tablet klorinasi atau pemutih air untuk
disinfeksi air di rumah. Hal yang sangat penting pula adalah mengamankan air
minum yaitu mulai dari penyaringan, perebusan, disinfeksi, menyimpan dalam air
tertutup, dan sebagainya. Juga menginstruksikan pada mereka tentang pembuangan
sampah yang aman, tempat buang air besar, dan terapi rehidrasi oral bagi anak
yang terkena diare (Wisner & Adams, 2002).
2. Suplai Air
Prioritas utama di tempat
pengungsian adalah menyediakan jumlah air yang cukup, walaupun kualitasnya
buruk, dan mencegah sumber air dari kontaminasi. Suplai air seharusnya
dilakukan dengan atau sebagai bagian dari program promosi kesehatan yang
bekerja sama dengan penduduk yang terkena dampak (Wisner & Adams, 2002).
Kebutuhan dan ukuran kedaruratan
suplai air jangka pendek mungkin berbeda menurut komunitas desa atau semikota,
situasi perkotaan dimana pusat layanan air tersedia, populasi di pemindahan
lokasi atau penampungan sementara. Komunitas pedesaan biasanya kurang rentan
terhadap terganggunya suplai air saat bencana daripada komunitas perkotaan
karena suplai air umumnya terdesentralisasi dan menggunakan teknologi yang
sederhana, dan seringkali sumber alternatifnya ada. Namun bencana tertentu
seperti banjir dan kekeringan akan berdampak lebih besar pada area pedesaan
dibandingkan area perkotaan. Pada area perkotaan, prioritas seharusnya
diberikan pada area kota yang suplai airnya terganggu atau terkontaminasi, tapi
tidak punya sumber alternatif (Wisner & Adams, 2002).
Jumlah minimum air yang
diperkenankan untuk perorangan untuk minum, masak, dan kebersihan ditentukan
oleh United Nations High Commisioner for Refugees (1992a) sebanyak 7 liter per
hari per orang selama periode darurat jangka pendek. Pada kebanyakan situasi,
kebutuhan air mungkin lebih banyak yaitu : 15-20 liter per hari per orang untuk
penduduk umum, 20-40 liter per hari per orang untuk beroperasinya sistem
pembuangan kotoran, 20-30 liter per hari per orang untuk dapur umum, 40-60
liter per hari per orang untuk rumah sakit terbuka atau pusat pertolongan
pertama, 5 liter per pengunjung untuk masjid, 30 liter per hari per sapi atau
unta untuk hewan ternak, dan 15 liter per hari per kambing atau hewan kecil
lainnya. Tambahan 3-5 liter per orang per hari dibutuhkan untuk minum dan
masak, suplai air yang cukup penting untuk mengontrol penyebaran penyakit yang
ditransmisikan karena kurangnya kebersihan (water washed diseases) bahkan jika
suplai air tidak memenuhi petunjuk kualitas air minum yang ditetapkan WHO atau
standard nasional (Wisner & Adams, 2002).
Air yang diduga terkontaminasi mikroorganisme harus direbus minimal 10
menit sebelum penggunaan. Air yang terkontaminasi bahan kimia, minyak atau
gasoline tidak dapat ditreatment dengan perebusan atau klorinasi. Karena itu
jika polusi air karena bahan kimia atau minyak terjadi sebaiknya air tidak
digunakan lagi, dan harus disediakan air dari sumber lain (Koren dan Bisesi ,
2003).
Sesudah bencana, penilaian
kerusakan sumber air yang tersedia dan kebutuhan yang belum terpenuhi akan
memudahkan tenaga kesehatan mengatur sumber-sumber yang dibutuhkan.
3. Sanitasi
Feses manusia mengandung banyak
organisme yang menyebabkan penyakit meliputi virus, bakteri, dan telur atau
larva dari parasit. Mikroorganisme yang ada pada feses manusia mungkin masuk ke
tubuh melalui makanan, air, alat makan dan masak yang terkontaminasi atau
melalui kotak dengan benda-benda yang terkontaminasi. Diare, kolera, dan
typhoid tersebar dengan cara ini dan penyebab utama kesakitan dan kematian
dalam bencana dan kedaruratan. Sedangkan urin relatif kurang berbahaya, kecuali
di area dimana schistosomiasis karena urin terjadi (Wisner & Adams, 2002).
Sullage (sampah cair dari dapur,
kamar mandi dan tempat cucian) mengandung organisme yang menyebabkan penyakit,
khususnya dari pakaian kotor, tapi bahaya kesehatannya terjadi terutama ketika
berkumpul di daerah dengan pembuangan limbah yang buruk dan menjadi tempat
berkembang biaknya nyamuk Culex. Tikus, anjing, kucing, dan binatang lain yang
mungkin adalah carrier (reservoir) bagi organisme penyebab penyakit tertarik
pada makanan, pakaian, pembalut medis dan komponen lain sampah padat. Kumpulan
air hujan yang sedikit pada sampah padat dapat menjadi tempat berkembang biak
nyamuk Aedes (Wisner & Adams, 2002).
Hubungan antara sanitasi, suplai
air, dan kesehatan secara langsung dipengaruhi oleh perilaku kebersihan. Aspek
perilaku ini penting sekali dipertimbangkan saat memilih tehnik-tehnik yang ada
sehingga fasilitas yang disediakan dalam darurat dapat diterima dan digunakan
dan dipelihara kebersihannya oleh pengguna (Wisner & Adams, 2002).
Penyimpangan atau penampungan
sampah hendaknya 1 tanki 100 L per 10 keluarga atau 50 orang. Untuk
transportasi sampah dianjurkan 1 gerobak per 500 orang atau 1 tenaga pembuang
sampah untuk 5000 orang. Sedangkan untuk pembuangan akhir sampah 1 lubang (2m x
5m dan dalam 2 m) dan 1 pembakaran digunakan untuk 500 orang (Komisi Tinggi PBB
untuk Urusan Pengungsi. Thn).
4.Sistem Pembuangan
Karena rusaknya sistem
pembuangan limbah maka sangatlah potensial terjadi outbreak suatu penyakit. Dua
jenis teknik yang dibutuhkan dalam situasi darurat ini. Pertama, mengoperasikan
kembali sistem pembuangan limbah sesegera mungkin dan mendisinfeksi seluruh
area dengan chlorine dimana buangan mungkin sudah kontak dengan material dan
struktur yang berhubungan dengan manusia. Kedua, menyediakan privies sementara,
toilet portable, dan holding tanks untuk individual selama dan setelah bencana
(Wisner & Adams, 2002).
Jumlah kakus, sebagaimana
dianjurkan PBB, adalah 1 kakus per keluarga. Namun apabila tidak memungkinkan
bisa 1 kakus per 20 keluarga, bahkan 1 kakus per 100 orang (Komisi Tinggi PBB
untuk Urusan Pengungsi. Thn).
5. Penguburan Jasad
Sebelum dilakukan pemakaman maka
sedapat mungkin semua jasad diidentifikasi dan dicatat hasilnya. Tingkat
kematian saat bencana mungkin sekali lebih tinggi dibanding dalam keadaan
normal. Penguburan jasad merupakan cara yang paling sederhana dan terbaik yang
sejauh ini dapat diterima dan dimungkinkan.
Saat menangani jasad, pekerja
harus melindungi dirinya dengan sarung tangan, penutup muka, sepatu lars dan
baju kerja terusan. Sesudahnya pekerja harus membersihkan diri mereka sendiri
dengan sabun dan air (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn).
6. Keamanan Makanan
Makanan kemungkinan akan sulit
didapat pada keadaan darurat atau setelah bencana. Panen mungkin rusak di
sawah, ternak tergenang, dan suplai makanan terganggu, dan penduduk terpaksa
menyelamatkan diri ke area dimana tidak ada akses ke makanan. Lebih lanjut,
keamanan semua makanan berakibat besarnya risiko epidemi foodborne disease
(Wisner & Adams, 2002). Putusnya pelayanan vital, seperti suplai air atau
listrik, juga sangat mempengaruhi keamanan pangan. Kekurangan air minum dan
sanitasi yang aman menghambat penyiapan makanan secara higienis dan
meningkatkan risiko kontaminasi makanan. Makanan khususnya rentan terhadap
kontaminasi ketika disimpan dan disiapkan di luar atau di dalam rumah yang
rusak dimana jendela dan dinding mungkin tidak lagi utuh (Wisner & Adams,
2002).
Menyusul terjadinya bencana,
penilaian mengenai efek bencana pada kualitas dan keamanan makanan harus dibuat
sebagai upaya untuk mengonttrol makanan. Besarnya dan jenis kerusakan makanan
harus dinilai, dan sebuah keputusan dibuat mengenai pemisahan dan pengkondisian
ulang makanan yang berhasil diselamatkan (Wisner & Adams, 2002).
Jika panen sawah terkontaminasi
kotoran manusia, seperti setelah banjir atau kerusakan sistem pembuangan,
penilaian harus dibuat segera untuk menilai kontaminasi panen dan menetapkan
tindakan, seperti menunda panen dan memasak secara sepenuhnya, untuk mengurangi
risiko transmisi patogen fekal (Wisner & Adams, 2002).
WHO (1991) menetapkan Aturan
Baku Penyiapan Makanan Secara Aman sebagai berikut:
1. Masak
makanan mentah sampai benar-benar matang
2. Makan
makanan yang dimasak segera mungkin.
3. Siapkan
makanan hanya untuk sekali makan
4. Hindari
kontak antara makanan mentah dan makanan matang
5. Pilih
makanan yang diproses untuk keamanan
6. Cuci
tangan berulang-ulang
7. Jaga
semua penyiapan makanan tetap bersih
8. Gunakan
air bersih
9. Waspada
dengan makanan yang dibeli di luar.
10. Berikan
ASI pada bayi dan anak kecil.
Pada kondisi bencana biasanya
didirikan banyak dapur umum. Penyiapan makanan secara massal mempunyai banyak
kekurangan yang meliputi transmisi food borne disease. Karena itu penting bagi
pengelola makanan dan supervisor untuk ditraining pengolahan makanan secara
aman dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Adalah penting sekali
bahwa tenaga masak dan sukarelawan yang menyiapkan makanan tidak menderita
gejala berikut : jaundice (kuning) , diare, muntah, demam, sakit tenggorokan
(dengan demam), luka kulit yang tampak terinfeksi (borok, luka, dan lain lain)
atau ekskreta dari telinga, mata atau hidung (Wisner & Adams, 2002).
Fasilitas yang dibutuhkan untuk
dapur umum antara lain : suplai air, toilet untuk staf dan pengguna, fasilitas
cuci tangan, fasilitas untuk mengelola sampah cair dan padat, meja, fasilitas
untuk mencuci peralatan dapur, bahan yang cukup dan sesuai untuk makan, kontrol
terhadap rodent dan pes yang lain, serta informasi keamanan makanan (Wisner
& Adams, 2002).
Makanan beku yang tidak
dibekukan lagi sebaiknya dibuang. Makanan yang disimpan di lemari es yang
disimpan di bawah 41° F dan belum terkontaminasi air sungai atau yang lain atau
bahan yang potensial berbahaya dapat digunakan (Koren dan Bisesi , 2003)
7. Kontrol Pest dan Vektor
Selama situasi darurat dan
periode sesudahnya, insekta dan rodent mungkin meningkat dengan kecepatan
tinggi. Peluang penyebaran penyakit meningkat tajam. Karena sistem pembuangan
rusak, rodent meninggalkan area ini dan mencari sumber makanan lain. Yang
jelas, setelah bencana, sampah padat yang meliputi bahan-bahan yang bisa
menjadi sumber makanan rodent berkumpul (Koren dan Bisesi , 2003).
Bahaya infeksi yang serius
mungkin meningkat ketika migrasi massal membawa penduduk secara bersama-sama
dari asal yang berbeda ke tempat penampungan sementara yang sudah ada vektor
penyakitnya. Pada kondisi demikian, penduduk yang relatif carrier imun terhadap
parasit dapat memulai siklus penyebaran penyakit pada penduduk yang lemah dan
penduduk yang jadi korban tapi tidak kebal. Contoh outbreak penyakit yang diobservasi
pada kondisi demikian meliputi malaria (oleh nyamuk Anopheles), epidemic typhus
(oleh kutu), dan demam dengue (oleh nyamuk Aedes). Malaria adalah salah satu
dari lima penyebab kematian pada situasi darurat, dan di area endemik
kontrolnya mungkin menjadi salah satu prioritas kesehatan utama (Wisner &
Adams, 2002).
Banjir dan hujan yang deras
menimbulkan banyak genangan air yang berakibat meningkatnya jumlah tempat
perkembangbiakan nyamuk yang pada akhirnya dapat menyebabkan outbreak penyakit.
Karena menghilangkan genangan air adalah sesuatu hal yang tidak mungkin maka
perlu dilakukan program penyemprotan secara massal (Koren dan Bisesi , 2003)
Kontrol Penyakit Menular dan Pencegahan Kejadian Luar Biasa
Lima penyakit penyebab kematian
terbanyak saat keadaan darurat dan bencana adalah diare, ISPA, measles,
malnutrisi, dan malaria (pada daerah endemik). Kepadatan penduduk, sanitasi dan
higiene yang buruk, air minum yang terkontaminasi, banyaknya tempat
perkembangbiakan nyamuk merupakan faktor risiko lingkungan terjadinya beberapa
penyakit tersebut (Wisner & Adams, 2002).
Training bagi petugas kesehatan
sebelum bencana terjadi dalam mengidentifikasi dan menatalaksana penyakit
tertentu, persiapan stok lokal bahan dan alat untuk diagnosis dan terapi penyakit
yang mungkin terjadi, perbaikan sistem surveillans kesehatan, dan kesadaran
penduduk yang terkena bencana terhadap penyakit menular, dan rujukan segera ke
fasilitas kesehatan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol penyakit
menular dan mencegah kejadian luar biasa (Wisner & Adams, 2002).
8. Partisipasi masyarakat
Pelibatan masyarakat (terutama
korban bencana) penting untuk menurunkan kerentanan terhadap bencana, untuk
memfasilitasi pemulihan setelah bencana, dan untuk menstimulasi organisasi
masyarakat yang merupakan basis untuk pembangunan berkelanjutan. Masyarakat
hendaknya didorong untuk ambil bagian dalam mengidentifikasi hazard yang mereka
hadapi, dalam menilai kerentanan mereka sendiri, dan dalam merencanakan jalan
untuk meningkatkan kesiapan mereka dalam bencana (Wisner & Adams, 2002).
Masyarakat pada umumnya lebih
mengenal situasi dan kondisi lingkungan setempat, mengetahui bagaimana perilaku
dan kebiasaan, serta kebutuhan masyarakat setempat korban bencana. Dengan
melibatkan masyarakat setempat maka program penanggulangan bencana yang ada
akan lebih tepat sasaran, efektif, dan efisien.
Terdapat empat mitos tentang bencana, yaitu :
1. tenaga medis sukarela luar negeri dari berbagai latarbelakang
diperlukan
2. epidemi dan wabah tidak dapat dihindari setelah terjadi bencana
3. bencana adalah pembunuhan secara acak, dan
4. segala sesuatu kembali normal
setelah beberapa minggu.
Buatlah suatu uraian mengenai
keempat hal tersebut pada kenyataannya
· Tenaga
medis sukarela luar negeri dari berbagai latarbelakang diperlukan
Mitos dibutuhkan sukarelawan
tenaga kesehatan dengan spesialis apapun kenyataannya penduduk hampir selalu
melakukan penyelamatan segera. Hanya keterampilan yang tidak ada di tempat
bencana yang diperlukan. Hanya sedikit korban yang selamat berkat pertolongan
dari luar daerah. (masyarakat setempat hampir selalu dapat memenuhi usaha
pertolongan pertama. Tenaga yang dibutuhkan hanya personel medis trampil yang
tidak tersedia di negara tempat bencana terjadi)
· epidemi
dan wabah tidak dapat dihindari setelah terjadi bencana
Betul, karena akan banyak timbul
wabah penyakit yang diakibatkan oleh bencana baik itu bencana banjir, longsor,
gempa dan lain-lain. Epidemiologi untuk engetahui:
Masalah prioritas di antara
masyarakat yang menjadi korban Penyebaran penyakit-penyakit , Faktor-faktor
risiko khusus, Prioritas intervensi kesehatan, Luas kerusakan dan kapasitas,
sarana/prasarana local, Memantau trend kesehatan dan Menilai dampak program
pertolongan dengan
Tantangan menghadapi situasi khusus akibat
1. Kerusakan fisik
2. Ketakutan dan kecemasan masyarakat
3. Kekacauan sosial
4. tidak ada infrastruktur pengumpulan data
5. Waktu mendesak
6. Perpindahan penduduk
7. Kurangnya dukungan sarana
dan keahlian di tempat bencana
• bencana adalah pembunuhan
secara acak
Adakah sesuatu yang lain
terjadi, ketika ramai-ramai berbicara bencana gempa dengan prediksi ilmiah kota
padang, yang muncul malah banjir bandang dan longsor, berbicara kehutanan,
muncul bencana flu burung di pembantu bupati, berbicara penyakit, muncul
pesawat jatuh. Lingkaran bencana di indonesia bisa menjadi siklus yang tidak
pernah berhenti (kisah tentang bencana yang beruntun yang pernah terjadi dalam
sejarah)
Kecelakaan besar (bus wisata di
probolinggo) -> Longsor pacet-> Longsor Bahorok -> Kelaparan NTT ->
Penyakit DB-> Gempa Timika-> Gempa Tsunami-> Pesawat/helikopter saling
jatuh-> Penyakit baru (fluburung)-> Penyakit DB dan lumpuh layu->
Kelaparan yakuhimo-> Longor jember-> Longsor banjarnegara, kereta api
saling tubrukan bahkan dikemudikan orang gila, pesawat tergelincir, longsor di
trenggalek, di cipatat bandung ini merupakan bencana secara acak yang
menimbulkan korban jiwa dalam jumlah banyak atau bisa disebut pembunuhan secara
acak
· Segala
sesuatu kembali normal setelah beberapa minggu.
Reaksi terjadi dalam hari sampai
minggu setelah bencana
1. Ketakutan,
waspada, siaga berlebihan
2. Mudah
tersinggung, marah, tidak bisa tidur
3. Khawatir,
sangat sedih
4. Flashbacks
berulang (ingatan terhadap peristiwa yang selalu datang berulang dalam pikiran)
5. Menangis,
rasa bersalah
6. Kesedihan
7. Reaksi
positif termasuk pikiran terhadap masa depan
8. Menerima
bencana sebagai suatu Takdir Semua itu adalah reaksi alamiah Dan hanya
9. membutuhkan
intervensi psikososial. Setelah semua fase terlewati semuanya kembali normal
karena semuanya mampu menerma hal tersebut sebagai takdir yang diterima secara
ikhlas.
4. KESIMPULAN
Bencana terjadi bisa akibat ulah
manusia dan kejadian alam, bisa dianalogikan bumi yang terus berputar dalam
usia yang sudah renta memerlukan istirahat pada saat bumi ingin istirahat
terjadi pergeseran, retakan lempeng bumi sehingga menimbulkan bencana gempa
bumi, gunung meletus dan ulah manusia menimbulkan banjir, longsor karena hutan
gundul, kebakaran hutan karena adanya pembalakan hutan secara liar dan rakus
tanpa memikirkan akibatnya. Setiap bencana bisa menimbulkan penyakit, trauma,
kerusakan ekonomi, lingkungan dan psikososial. Untuk menanggulangan tersebut
diperlukan langkah-langkah penanggulangan yang optimal seperti yang telah
diungkapkan dalam tulisan ini. Mitos adalah hal yang belum terbukti bisa
dikatakan mitos adalah empiris menurut filsafat yang sesuatu yang dibicarakan
oleh masyarakat menjadi fenomena yang belum jelas kebenarannya.